Tuesday, 3 November 2015

Tetapi kita bukan Rama, Sinta dan Rahwana



Andrea terus menatap layar ponsel dengan nanar, kegelisahan hatinya sudah sampai di puncak dan kini ia kembali terganggu pikiran jangka panjangnya. Hazelnut latte yang sudah dipesannya sejak setengah jam lalu bahkan kini sudah mulai dingin akibat permainan angin, meski baru disesap beberapa kali.

"Menunggu seseorang, Drea?" Tenor itu kembali merasuki indra pendengarannya. Andrea bahkan lupa kalau ia duduk di sudut kafe berseberangan dengan Aryo, teman sekelasnya. Yang entah kenapa, masih saja mengejar hati Andrea yang beberapa orang bilang sudah bagaikan bangunan kokoh, dimiliki orang lain.



Aryo memang bukannya tidak menarik. Dia mengambil basket sebagai klub di sekolah, lumayan 'tampan', ramah, tipikal pria idaman gadis-gadis seumur mereka. Membuat Andrea acap kali disebut gold digger, menggunakan kutip. Padahal Andrea sama sekali tidak pernah berniat membuat Aryo begitu tergila-gila dengannya. Hanya sebuah musikalisasi puisi di depan kelas dan teruna itu seakan mendekat bagai menerima bisikan-bisikan halus.

"Siapa sih, yang kamu tunggu? Rama?" Aryo bertanya, lagi. Sudah jelas pertanyaan sebelumnya bahkan belum juga terjawab.

Kening Andrea mengerut sebal. "Rama yang waktu kelas satu pernah sekelas sama kita lalu dikeluarin sekolah, maksud lo? Ya kali."

Balasan jutek itu malah sukses membuat Aryo tersenyum lebar-lebar. "Bukan, Drea. Rama di Ramayana, suaminya Sinta. Masa gak tau, sih?"

"Maksudnya apa?"

"Gak punya maksud apa-apa, kok."

"Dasar gak jelas," Andrea menggerutu, melipat kedua tangannya di depan dada. Messi tanpa disadari, konversasi yang ia anggap tidak penting itu dapat membuatnya sekejap lupa akan pria lain yang mengganggu pikirannya.

Hening beberapa saat, hanya alunan musik dengan genre bossanova yang menambah nikmat.

"Kamu itu Sinta, yang sudah jadi milik Rama. Dan aku mau jadi Rahwana, tetap mau mencintai kamu, seakan percaya kalau akhirnya kamu itu buat aku." Aryo menambah suasana panas di hati Andrea.

"Yo, aku gak semudah itu bisa berpindah hati, walaupun Tian dan aku terpaut jarak hampir 200 kilometer. Ada yang disebut komitmen dalam sebuah hubungan, dan aku menjunjung tinggi itu. Aku harapkamu mengerti baik-baik."

"Witing tresno jalaran soko kulino," balas Aryo dengan bahasa asing yang tidak dimengerti Andrea. "Cinta muncul karena terbiasa," tambahnya, mengartikan.

Dan entah bagaimana, ungkapan Bahasa Jawa itu bagaikan sebuah mantra sihir, yang menyadarkan Andrea, bahwa sebenarnya, ia sudah lelah dengan Bastian. Bahwa ia tidak juga dapat percaya lagi dengan kekasihnya yang mulai jarang memberi kabar. Tanpa Andrea safari juga, ia tidak pernah merasa bahwa kehadiran Aryo adalah sebuah kesalahan. Andrea hanya terlalu takut untuk mengiyakan bahwa ia mulai merasa nyaman dengan pria itu.

"Tetapi kita bukan Rama, Sinta dan Rahwana, Yo. Karena kalau aku menjadi Sinta, aku tak akan kembali kepada Rama."

No comments:

Post a Comment