Dengan sampainya mentari ke peraduan, kutuliskan kalimat-kalimat sederhana tumpahan hati tertuju pada kamu, sosok yang sama dengan pengendali pikiran.
Aku terus mendekap rembulan dan sang bintang yang bercengkrama dengan bulir-bulir rindu mengudara bagai lukisan langit yang berbingkai indah.
Malam ini luar biasa dingin, menusuk sampai ke sela-sela tulang. Belum
lagi hembusan angin nan menerpa wajah ikut membawa pergi beberapa daun kering di
jalur pendakian.
Kepakan sayap bintang,
senyum rembulan,
gemercik air.
Hey, apa kabar?
Aku tahu seharusnya pertanyaan itu keluar lebih awal di
surat ini, namun takut tak terbaca jika kujadikan pembuka. Atau bahkan bagaimanapun
pembukanya, kamu tidak akan membaca?
Dua hariku terasa membosankan, melelahkan, penuh peluh dan
canda serta tawa nyaring palsu.
Aku sebut namamu dalam riangku, maupun bekuku.
Entah... malam ini aku ingin selalu dekat dengan bintang dan
rembulan, bercerita tentang keindahanmu yang selalu beri terang hariku. Ingin
aku syairkan sajak-sajak indah bagai seorang pujangga ternama yang kidungkan
syair cinta atau seorang penyair yang suarakan rintihan hati, tapi tak ada kata
yang bisa kurangkai dan kupintal menjadi kain sutra yang lembut untuk
selendangkan kamu.
Dalam rintih, kuucap sebuah kalimat yang tak pernah dapat disuarakan jika di hadapanmu. "Aku mencintaimu lurus, tanpa kemegahan, karena aku tak tahu bagaimana mencintaimu dengan cara lainnya."
Sayang, surat untuk kamu ini belum bisa sampai di dua bola matamu.
Sayang, hatiku bukan lagi tempatmu bertamu.
Sayang, surat untuk kamu ini belum bisa sampai di dua bola matamu.
Sayang, hatiku bukan lagi tempatmu bertamu.
Geger Bentang, 22 Januari 2017
No comments:
Post a Comment